Sains, Covid-19, dan Sejarah Peran Agama

Membaca Tulisan Yuval Noah Harari yang terbaru mengenai Covid-19 dan kepercayaan kita pada kematian, membuat kita benar-benar merenung mengenai relasi sains dan agama. Kata Noah, di abad pertengahan orang pasrah dengan kematian. Sedangkan di abad modern orang berfikir bagaimana menundukkan kematian dengan memperpanjang usia kematiannya. Hal ini merupakan sikap revolusioner yang terbilang baru menurutnya, dan manusia berhasil. Terbukti secara keseluruhan, angka kematian anak di dunia turun hingga kurang dari 5%, setelah sebelumnya angka kematian anak tinggi. Begitu pula usia manusia semakin panjang, yaitu bisa mencapai 80 tahunan dari sebelumnya yang hanya 50-60 tahunan.

Menurut pemaparan Noah, dalam sebagian besar sejarah, manusia cenderung menerima kematian tanpa perlawanan apapun. Sebelumnya, sebagian besar agama dan ideologi melihat kematian bukan hanya sebagai takdir yang tidak dapat dihindari, melainkan juga sebagai sumber utama makna kehidupan. The Epic of Gilgamesh, mitos Orpheous dan Eurydice, Bible, Al-Qur’an, Veda, dan kitab suci atau cerita sakral yang tidak terhitung jumlahnya menekankan bahwa manusia akan meninggal dunia karena Tuhan, Kosmos, dan lain sebagainya (terj: Masyitah).

Abad berikutnya revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Bagi para ilmuwan, kematian itu semata masalah teknis. Tuhan seolah tidak ada perannya di sana, dan kematian lebih dijelaskan dengan diagnosa adanya kesalahan teknis. Jantung berhenti memompa darah. Kanker merusak liver. Virus berkembang biak di paru-paru. Metafisika tidak ada di sana. Lebih jauh, ilmu pengetahuan meyakini bahwa setiap masalah teknis juga memiliki solusi teknis. Lebih jauh, Noah menjelaskan manusia tak perlu menunggu kedatangan Nabi Isa yang kedua untuk mengalahkan kematian. Menarik bukan?

Lalu pertanyaan yang perlu diajukan pasca Covid-19 ini, apakah perlu menghapus Fakultas Ushuluddin/Teologi atau IAIN/STAIN, UKDW, STBN, dan sebagainya yang hanya melahirkan orang yang katanya terlampau teologis, dan menggantinya dengan Fakultas Kedokteran yang lebih dibutuhkan manusia untuk memperpanjang usianya, melawan virus, dan lain-lain? Pertanyaan ini memang seperti lelucon, namun penting direfleksikan. Sebab, ini menyangkut relasi agama dan sains yang belum selesai sebagai konsekuensi sekularisasi. Penulis ingat apa yang dipikirkan oleh Jose Casanova seorang Sosiolog Agama yang secara serius meminta manusia segera memikirkan agama dan relasinya dengan dimensi sekuler seperti sains, ekonomi, dan politik atau negara, sebab dunia modern telah melahirkan sekularisme diferensiatif. Jika tidak, bisa terjadi relasi konfliktual yang berakibat cukup memprihatinkan pada kehidupan dunia dan manusianya. Beberapa Ilmuan memang sudah berusaha menjawab relasi keduanya, salah satunya Amin Abdullah dengan model Integrasi-interkoneksi.

Kendati problem agama dan sains belum sepenuhnya selesai, rupanya sains dan agama belakangan sama-sama mengambil peran yang saling mendukung. Lihat saja fatwa-fatwa agama yang mengikuti saran ilmuawan kedokteran meniadakan sholat jamaah karena harus physical distancing, isolasi mandiri, dan sejenisnya, sebagai respons atas merebaknya wabah Covid-19 yang melanda dunia. Relasi agama dengan politik pun sudah lebur, dan ini merupakan fenomena global mulai dari Eropa hingga Asia. Relasi agama dan ekonomi, sudah tentu tidak perlu dipertanyakan, sebab agama bergulat di dalamnya yang ditandai dengan lahirnya bank-bank syariah dan halalisasi berbagai produk.

Menurut hemat penulis, dari sudut sejarah sosial, agama belakangan mengambil peran dalam tiga posisi: 1) dulu, agama bersifat absolut, ia mengatur segala hal sebagaimana yang terjadi di abad tengah 2) pasca modernisme dan sekularisme di Eropa, agama menjadi lembaga yang memiliki kekuatan penantang dan otonom, 3) belakangan agama mencoba keberuntungan dengan bergulat langsung di segala bidang, bahkan mewarnainya, dan ini berhasil. Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar agama dominan di dalam semua bidang itu? Apakah ia mampu mengoskestra, kompromis, atau ia hanya sekedar dimanfaatkan? Pertanyaan ini tentu perlu kajian Sosiologi Agama secara lebih mendalam.

Oleh: Abd. Aziz Faiz (Dosen Prodi Sosiologi Agama)

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler