Mengungkap Jejak Sosiologi dalam Kajian Ibnu Khaldun

Senin, 5 Agustus 2019 merupakan peristiwa bersejarah bagi Imam Iqbal, S.Fil.I., M.S.I. sebagai salah satu dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Hari itu bertepatan dengan agenda Ujian Terbuka Promosi Doktornya. Lebih utamanya, Ujian Terbuka tersebut menghadirkan para Profesor dan Doktor yang betugas sebagai penguji. Ujian Terbuka diketuai oleh Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dengan sekretaris Dr. Moch. Nur Ichwan, S.Ag, MA (Wakil Direktur Pascasarjana) dan jajaran penguji yaitu Prof. Dr. H. Fauzan Naif, M.A., Dr. H. A. Singgih Basuki, M.A., Dr. H. M. Nur, S.Ag., M.Ag., Dr. H. Moh. Pribadi, M.A., MA., M.Si, Prof. Dr. H. Syihabbudin Qalyubi, Lc., M.Ag., dan Prof. Hj. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D, D.Min.

Hal yang menarik dari Ujian Terbuka ini adalah judul Disertasi yang menyinggung salah satu Bapak Sosiologi yaitu Ibnu Khaldun. Dalam Disertasinya, Imam Iqbal, S.Fil.I., M.S.I. memang menjelaskan tentang aspek etika politik dari Ibnu Khaldun. Menurutnya selama ini, kajian etika lebih banyak dibahas pada ranah individual dibandingkan ranah publik atau relasi yang lebih luas. Oleh karena itu, kajian ini cukup mendapat banyak respon dan pertanyaan dari penguji. Salah satunya dari Prof. Dr. H. Fauzan Naif, M.A. yang memaparkan sosok Ibnu Khaldun sebagai aktor politik praktis karena menduduki jabatan birokrasi setara menteri. Dalam hal ini pula Ibnu Khaldun dianggap sebagai akademisi yang memberikan contoh konkrit politik praktis itu sendiri, terutama dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam di dalamnya. Namun, hal yang cukup menarik adalah ketika pertanyaan dikaitkan dengan julukannya sebagai Founding Father of Sociology dan sebagai penulis tulisan Muqaddimah.

Relevansi Sosiologis dari kajian mengenai Etika Politik ini dikaitkan dengan Sistem Politik Keagamaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Pada pemaparannya dijelaskan bahwa upaya membangun kekuasaan dalam sistem politik keagamaan yang dilakukan nabi, setidaknya ada dua syarat legitimasi yaitu Legitimasi Teologis dan Legitimasi Sosiologis. Legitimasi Teologis mengarah pada nilai atau asal-usul ilahiyah seperti nilai ketuhanan, keadilan, dan sebagainya. Sedangkan Legitimasi Sosiologis lahir dari kondisi historis-sosiologis yang spesifik. Berdasarkan dari temuan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa aspek teologis atau agama terutama dalam konteks politik dan pemerintahan, tidak dapat dilepaskan dengan aspek sosiologis hal yang bersifat relasional. Mengingat politik adalah ranah publik yang jelas melibatkan keterhubungan dengan banyak orang terutama relasi penguasa dan masyarakat (Ratna).